Saat ini kita tidak akan bisa jauh dari IPTEK, karna jika jauh semakin jauh ketertinggalan kita dalam menangani masalah pembangunan terutama soal jalan. Untuk jalan seingat saya waktu kuliah (teknik sipil) dibagi beberapa fungsi, salah satunya Jalan Dalam Perkotaan. Yang jadi heran, kenapa jalanan dalam kota yang intensitas penggunanya mungkin lebih besar namun kapasitasnya angkutan berat yang lewat hanya sedikit tapi kenapa jalanan itu mudah retak, berlobang bahkan hancur hingga susah di lewati.
Ini kembali pada SDA yang ada terutama di PU, PERENCANA serta PENGAWASAN. Kenapa????
Sebenarnya untuk membangun jalan kita tidak perlu menggunakan teknologi yang begitu canggih, cukup yang sederhana saja. Namun apakah yang sesederhana itu bisa digunakan dengan baik? Nah itu yang jadi permasalahan i Indonesia selama ini. Bukannya minim soal pendidikan, padahal dari pihak Kementrian PU sering banget mengadakan pelatihan dari pusat hingga ke daerah-daerah. Ini semua kembali pada individunya yang bener-bener membangun atau hanya berlomba mencari keuntungan sebesar-besarnya.
OK simple aja. Sebelum mulai membangun jalan yang perlu kita ketahui apakah jalan yang mau di bangun jalan baru atau jalan lama. Nah untuk jalan baru mungkin bisa dibulai dengan pembersihan lokasi dan penimbunan. Setelah itu harusnya dilakukan ujie test untuk mengetahui daya dukung dan karateristik tanah serta kondisi geologi, seperti mengetahui susunan lapisan tanah/sifat tanah, mengetahui kekuata lapisan tanah dalam rangka penyelidikan tanah dasar untuk keperluan pondasi bangunan, jalan, dll, kepadatan dan daya dukung tanah serta mengetahui sifat korosivitas tanah. Nah jika sudah dilakukan ujie test tersebut, harusnya perencana tau jalan tersebut harus pake pondasi atau tidak dan bisa juga tanpa pondasi jika tanah tersebut keras dan tidak berpori.
Jika sudah dikaji hal diatas dan mulai perencanaan, maka pada saat pelaksanaan harus ada pihak pengawasan yang bener-bener bisa melakukan pengawasan. Kita akui kadang dalam pelaksaan ada aja yang tidak sesuai dgn perencanaan, nah disini kita di uji buat memikirkan jalan keluar tanpa harus menambah biaya yang telah di anggarkan.
Perencanaan Jalan
1. Mulai dari Jenis hambatan yaitu tipe I dimana akses jalan masuk diatur secara penuh dan tipe II hanya sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuknya.
2.Pada perencanaan, berdasarkan tipe I dan II dalam 4 kelas sesuai klasifikasi fungsional dan volume lalu lintas.
3. Dasar Klasifikasi Perencanaan
Dimana :
- Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
- Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
- Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Dasar klasifikasi perencanaan adalah sebagai berikut :
• Tipe I kelas I adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau antar kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.
• Tipe I kelas II adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau di dalam kota-kota metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.
• Tipe II kelas I merupakan standar tertinggi bagi jalan dengan 4 lajur atau lebih, memberikan pelayanan angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota dengan kontrol.
• Tipe II kelas II merupakan standar tertinggi bagi jalan dengan 2 atau 4 lajur dalam melayani angkutan cepat antar kota dan dalam kota, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas.
• Tipe II kelas III merupakan standar menengah bagi jalan dengan 2 lajur untuk melayani angkutan dan dengan kecepatan sedang, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas.
• Tipe II kelas IV merupakan standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan dengan jalan lingkungan.
• Tipe I kelas I adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau antar kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.
• Tipe I kelas II adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau di dalam kota-kota metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.
• Tipe II kelas I merupakan standar tertinggi bagi jalan dengan 4 lajur atau lebih, memberikan pelayanan angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota dengan kontrol.
• Tipe II kelas II merupakan standar tertinggi bagi jalan dengan 2 atau 4 lajur dalam melayani angkutan cepat antar kota dan dalam kota, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas.
• Tipe II kelas III merupakan standar menengah bagi jalan dengan 2 lajur untuk melayani angkutan dan dengan kecepatan sedang, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas.
• Tipe II kelas IV merupakan standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan dengan jalan lingkungan.
4. Volume Kendaraan yang Melintas (VLHR)
Dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
VJR = VLHR x (K/F)
dimana:
VJR : Volume Jam Rencana (smp/ hari)
VLHR : Volume Lalu lintas Harian Rencana (smp/ hari)
K : faktor volume lalu lintas jam sibuk (%).
F : faktor variasi tingkat lalu lintas per seperempat jam dalam 1 jam (%).
VJR = VLHR x (K/F)
dimana:
VJR : Volume Jam Rencana (smp/ hari)
VLHR : Volume Lalu lintas Harian Rencana (smp/ hari)
K : faktor volume lalu lintas jam sibuk (%).
F : faktor variasi tingkat lalu lintas per seperempat jam dalam 1 jam (%).
5. Klasifikasi Menurut Medan Jalan.
6. Nilai Konversi Kenaraan
Selain diatas, yang perlu diperkirakan adalah laju pertumbuhan penduduk setempat dimana rencana membangun badan jalan tersebut. Karna itu penting untuk menentukan perkiraan lamanya usia jalan.
Untuk menunjang Perkembangan IPTEK di negeri ini, perlu keseriusan pemerintah untuk melibatkan peran Agama. Kenapa?
Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks nasional,
maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam
konteks nasional pula. Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya
jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh
bangsa Indonesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek
nasional?
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a)
berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup
berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d)
saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau
iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling
tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola
hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari
keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan
orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin
menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini
pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat
bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa
matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan
dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan
pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran
agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran
agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran
keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran
yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran
ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan
diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda.
Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan
dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada
pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal,
pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola
hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah
terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan
ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu
pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama
tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan
iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini
terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan
iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan
menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam
masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan
pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan
dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena
tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu
ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak
menimbulkan dampak apa-apa.
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.
Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya
pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan
masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat
terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi
pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek
mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan
iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula
sebaliknya.
Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan
mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan
mendorong orang untuk mendalami ajaran agama. Sebaliknya, dalam wujud
ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan
menghayati ajaran agama walaupun tidak sebaliknya terjadi. Pada wujud
ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami
dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran
agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
Pertanyaan selanjutnya adalah “pola hubungan yang manakah yang
dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?” Untuk
menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN
sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka
harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang
kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan
yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral.
Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak
saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah
dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya
mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Artinya, pengembangan
iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya
bangsa. Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung. Kesan
hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita
membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang
secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.
Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam
kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan
memperoleh kesan yang berbeda. Salah satu asas pembangunan nasional
adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
berarti
Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Saat ini
Pertanyaan berikutnya adalah “apakah peranan agama terhadap
pengembangan iptek seperti yang diharapkan itu telah terjadi?” Dari
pengamatan selama ini, saya rasa peranan seperti itu belum terjadi.
Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada
taraf tidak saling mengganggu. Pengembangan iptek dan pengembangan
kehidupan beragama diusahakan agar tidak saling tabrak pagar
masing-masing. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat
pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu
pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya
diselesaikan dengan kebijaksanaan.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat
kabar tentang tayangan televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan
nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan aurat wanita, cerita
perselingkuhan, dsb.). Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal itu
dapat merusak mental masyarakat. Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan
dengan acara seperti itu mengatakan bahwa ‘kalau anda tidak senang
dengan acara itu, matikan saja televisinya.’ Perusahaan televisi
swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan keuntungan dan ia akan
berusaha menayangkan film yang digemari masyarakat. Kalau masyarakatnya
senang film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh
rating tinggi dan diminati oleh pemasang iklan. Ini adalah pemikiran
yang sekuler, yang memisahkan urusan dagang dari agama. Tugas pengusaha
adalah mencari untung sebanyak-banyaknya, sedang mendidik kehidupan
beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan ulama. Kasarnya, tugas
setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia adalah tugas
nabi.
Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari
perusahaan televisi swasta. Kini adegan ciuman bibir antara lelaki
perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak akan kita temukan di
televisi. Film “Basic Instinct” yang ditayangkan di televisi beberapa
waktu yang lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari
adegan sex yang panas.
Ada pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan
yang diselesaikan dengan cara menganggapnya “tidak ada atau sudah
selesai” padahal ada dan belum diselesaikan. Sebagai contoh adalah
teori tentang asal usul manusia yang diajarkan di sekolah. Guru biologi
mengajarkan bahwa menurut sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu
jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua cabang: yang satu
mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera modern, yang lain
mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia kera purba
sampai ke manusia modern. Guru agama Islam mengajarkan bahwa,
berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t.
dalam bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk
kelas tiga dan bandingkan dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di
SMU).
Ini adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi
dan teori ciptaan, yang pernah melanda Amerika Serikat beberapa tahun
yang lalu. Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu tetap berlangsung
sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini jumlahnya
makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori
evolusi. Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang
lain adalah wajar dan merupakan rahmat (Konflik semacam inilah yang
menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan
teori-teori baru. Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di
sekolah tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi
akibatnya. Di Amerika, konflik ini diselesaikan dengan melarang
diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
Di Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan
dianggap tidak ada. Pelajaran Biologi hanya mengajarkan teori evolusi
dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa ajaran agama Islam,
Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia diciptakan).
Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan
menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori
evolusi itu (padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi
tulang punggung ilmu hayat (biologi). Secara teoritis, keadaan seperti
ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung di bidang asal usul
manusia (barangkali gurunya pun bingung!).
Akhir pembahasan..., belakangan ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan
nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek
bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional. Namun,
bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping
membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai
agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai
bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama
mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia. Oleh
karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan
bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa.
Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan
iptek secara eksplisit adalal pola hubungan netral yang saling tidak
mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu
dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama. Ini
merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai
prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama). Saat ini baru
sebagian kecil saja ummat yang menguasai hal itu dan yang sedikit itu
masih belum sempat menulis buku teks yang memadukan kedua hal (agama dan
iptek) itu. Dari uraian di atas, ternyata kita baru pada langkah awal
dan masih jauh jalan yang harus kita tempuh.
Hairuzi
Dari berbagai sumber termasuk dari web pu.go.id
0 komentar :
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini...